Sinar Yang Tak Terbagi
Ketik semuanya menjdi
saksi bisu untuk semua kisah ku. Tirai yang usang,debu yang berceceran di
lantai semuanya bercerita tentang mu. Kehangatan rumah yang hanya terasa hanya
sesaat saja bagi kami,kasih sayang yang tercurahkan hanya dalam hitungan
bulan. Itu semua terkadang membut aku merasa iri dengan kehidupan normal yang
dijalani teman-teman ku di luar sana. Hari-hari yag penuh tawa, candaan yang
selalu menemani hari mereka,dan ruangan yang hangat pun dapat mereka rasakan
setiap saat.Berbeda dengan aku, terkadang aku kesal dan terkadang pula aku
bangga ditemani lelaki itu.
“Bang Rey”
Itulah panggilan yang
selalu aku lontarkan.Lelaki muda dengan senyum yang enan tiasa menyapaku pagi
hari.Lelaki muda tampan itu bernama Reyhan.Dia adalah seorang kakak sekligus
seorang teman untukku.
Saat pagi datang,selalu
ada satpol PP yang tidak pernah mengeluh membangunkan kami, disini terasa
perlakuan yang beda antara aku dan abangku,terkadang hal itu membuat aku
meneteskan air mata, namun hangatnya sang surya, merdunya kicauan burung dipagi
hari dan senyum sapa yang diberikan untuk ku, itu yang menghapuskan kesedihan
ku dikala pagi datang.
Akibat kesiangan aku
tergesah-gesah untuk bernagkat ke sekolah, rambut yang tampak seperti singa
bangun tidur, dasi yang hanya aku selempangkan saja, sampai-sampai untuk
sarapan pun aku lupa. Abang pun heran penuh tawa melihat tingkahku pagi itu.
“De sarapan dulu!” salah satu perhatian yangselalu ku dapat darinya “gak bang,
Ade kesiangan, berangkat duluan bang” dengan percaya dirinya aku berlari
berangkat kesekolah sembari menghbiskan roti di jalan.
Tidak mau kalah, suara
ibu pun ikut menghiasi pagi kami.Hanya saja dia memberi kabar hanya lewat abang
ku. Dari kecil aku memang merasa cemburu disaat perhatian yang lebih dia berikan pada
abangku,dari mulai fasilitas, bekal untuk sekolah, selalu berbeda antara aku
dan abang. Permintaan abang selalu terpenuhi sedangkan aku? aku hanya
mendapatkan barang bekas yang dipakai sama abangku. Jika aku menginginkan hal
yang baru,jawaban yang terlontar dari mulut
ibu hanyalah “Sabar nak,belum waktunya”. Jawaban yang sedikit tapi
begitu menusuk ku. Tidak hanya sekali duakali aku mengalami kedian seperti ini.
Tapi bertahun-tahun aku harus meraskan itu.
Waktu pun berlalu,musim
panas pun beganti,dan liburan telah menanti kami. Rutinitas yang selalu kami
lakukan adalah menyusul ibu di Bogor. Rasa rindu hanya bisa kami apresiasikan
saat liburan tiba. Aku dan abangku pun semangat untuk bertemu dengan ibu. Tetap
saja hal yang membuat aku cemburu pada abang selalu mengganjal di fikiranku,dan
hingga akhirnya,enatah apa yang memaksaku bertanya pada ibu “Bu” kataku.”Iya
anakku” jawaban singkat dari ibu. “Ada hal yang mengganjal difikiran ku dan
ingin sekali rasanya kutanyakan padamu” kataku pelan. Ibu melihat ke arah ku
“tanyakan saja bila itu bisa membuatmu tenang”. Begitu semangatnya aku disertai
rasa takut aku pun mengatakannya “Kenapa perbedaan yang selalu kau tunjukan,apa
aku ini bukan anak mu Bu?”. Kali ini ibu berbalik dan menatap ku “Mungkin
memang ini saat yang tepat untuk memberikan penjelasan padamu”. Aku lebih takut
saat mendengar jawaban ibu, apakah hasil yang akan menggembirakan atau hasil
yang akan membuatku terpuruk selamanya. Ibu melanjutkan menjawab “Abang mu
memang jadi kebanggan ibu, tapi kau pun tak kalah membanggakan dari abang
mu,semua yang ibu berikan menurut ibu itu sudah sesuai dengan porsi kalian”.
Aku pun terdiam dan mencoba memahami jawaban itu.Lama aku terdiam dan hingga
akhirnya aku pun sadar bahwa kasih saying ibu memang tidak pernah padam,semua
yang dia berikan pada kami itu sudah sesuai dengan porsi yang kami butuh kan.
Mulai detik itu rasa cemburu ku pada abang hilang bagai debu tersapu oleh angin
. Aku bangga memiliki ibu sepertimu, dan entah dengan cara apa aku membalasa
semua kebikan mu.
karya : sri rahayu